Minggu, 25 November 2012

Tidurmu, Kepribadianmu



 Bagaimana posisi Anda saat tidur? Sebuah survey dari Inggris menyelidiki 1000 orang dan menunjukkan adanya hubungan antara gaya tidur dengan kepribadian seseorang. Jadi, apa gaya Anda?

Gaya meringkuk
Ini adalah posisi paling umum terutama di antara para wanita. Mereka yang tidur dengan posisi inidikenal berkepribadian tangguh tapi tetap peka terhadap sekitar. Mereka mungkin terlihat pemalu tapi mudah akrab.

Gaya menyamping
Jika Anda tidur menyamping dengan kedua tangan di samping tubuh, Anda adalah orang yang pandai bergaul, mudah mempercayai orang, bahkan kadang mudah ditipu. Sekitar 15% orang tidur dengan gaya ini.

Gaya peminta
Sepertiga orang tidur menyamping dengan kedua tangan diletakkan di depan tubuh. Mereka dikenal berpikiran terbuka namun agak sinis, pencuriga dan keras kepala dalam pengambilan keputusan.

Gaya prajurit
Orang yang tidur dengan gaya ini tidur terlentang dengan lengan rapat disamping tubuh. Mereka disebut bersifat pendiam, tertutup, dan menetapkan standard tinggi untuk diri dan rekan. Mereka juga lebih sering mendengkur, yang membuat mereka mendapat tidur berkualitas lebih sedikit.

Gaya terjun bebas
Sebagian kecil orang tidur tengkurap, dengan bagian perut dibawah dan lengan di bawah atau memeluk bantal. Sedangkan kepala akan menghadap ke salah satu sisi. Orang dengan posisi tidur ini dikenal blak-blakan, supel, dan tidak suka dikritik.

Gaya bintang laut
Jenis gaya tidur yang terakhir adalah terlentang, dengan tangan di dekat kepala. Mereka dengan gaya tidur ini biasanya adalah pendengar yang baik, suka menolong dan tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Mereka juga sering mendengkur dan kurang mendapat tidur berkualitas.


"Today's Notes" part 3


      Jauh beberapa puluh kilometer dari stasiun tua, tepatnya dipersimpangan lampu merah memiliki kisah yang berbeda tentang pengemis tua. Sandiwara kehidupan ini tidak lebih menonjolkan sisi realitas yang ada. Berbicara tentang Kemiskinan…. Dipersimpangan lampu merah ia menyandarkan hidupnya. Di batas lelah lalu lalang baja beroda ia menyuguhkan ketiadaan. Harapan yang senantiasa ia terbangkan terkadang tidak datang kembali. Udara yang tidak segar dari senapan – senapan knalpot beroda menjadi santapan harian. Dengan menadahkan tangan memasang raut wajah yang layu menjadikan pekerjaan. Semua yang ia lakukan adalah demi kelangsungan hidup, demi mengisi kekosongan perut dan demi orang – orang terdekat yang ia sayangi. Pekerjaan yang berbalut kebiasaan ini pun tak selamanya disambut baik oleh perasaan hati yang iba. Kedongkolan yang berakar pada realitas dan logika seakan menahan diri untuk memberi, atau bahkan untuk sekedar memberi senyuman dan menganggukan kepala sebagai rasa hormat, telah dilupakan oleh jiwa – jiwa yang menjungjung tinggi nilai – nilai materialisme.
Meskipun begitu ia masih tetap mampu bertahan hidup karna tangan Tuhan memiliki peran. Dari hati kecil yang paling dalam ia menorehkan tinta kebosanan karna takdir dan nasib telah menjadi suatu alasan. Tak kenal lelah ia menyapa dan menghampiri serangkaian pasukan berhelm atau baja beroda empat. Ketika sepi tiba ia sempatkan diri untuk menghitung tiap lembar rupiah yang sama dekil dengan dirinya. Ia bernyanyi dengan mulut terkunci dan berbicara dengan bahasa perasaan. Tentang makna hidup yang sebenarnya telah ia tunjukkan lewat rutinitasnya. Karna dipersimpangan lampu merah telah menjadi simbol tentang ketiadaan, tentang kemiskinan dan tentang siapa diri kita yang sebenarnya telah menjadi cermin disana.
Lalu apa komentar mereka yang tak mengenal makna kehidupan yang sesungguhnya, tentang penyapu jalan. Apakah ia sebagai manusia rendahan…??? Apakah ia termasuk manusia yang tak layak untuk diperhitungkan…??? Apakah ia juga termasuk golongan sampah sama seperti profesinya…??? Kenapa…??? Begitu banyak orang memandang dari segi luarnya saja. Tidakkah mereka semua menyadari, bahwa penyapu jalan memiliki peran penting dalam mengubah wajah kota, lebih penting daripada mereka para pejabat yang sibuk dengan teori – teori dibalik meja kerja, bicara tentang kebersihan kota…. Dimana prakteknya…??? Penyapu jalan lebih menunjukkan nilai eksistensi dan peran jati dirinya, bergerak bebas sehingga terlihat hasil kerjanya. Diballik seragam lusuhnya ia memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyelamatkan reputasi wajah kota. Tapi… Sayang tidak sebanding dengan apa yang ia dapatkan selama ini. Tidak ada pengakuan atau penghargaan untuk dirinya apalagi untuk sekedar kenaikan gaji… Tidak ada… !!! Yang ada hanya penghargaan bagi kota yang bersih itu juga yang menerima penghargaan adalah Walikota setempat. Meski begitu penyapu jalan adalah pahlawan kota yang terlupakan, termajinalkan oleh suatu keadaan dan sangat perlu diperhitungkan serta layak untuk diperhatikan.
Dari ketiga fenomena diatas dapat kita lihat bahwa ternyata memang benar materi telah menjadi suatu tolak ukur dalam kehidupan ini. Pada umumnya mereka adalah kaum minoritas yang terjerat didalam lingkaran setan ekonomi. Membuat diri mereka semakin termajinalkan oleh suatu keadaan. Mengakibatkan lahirnya perbedaan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Melupakan persamaan yang ada bahwa mereka juga manusia yang layak untuk dihargai. Hilangnya rasa persaudaraan pada tiap – tiap individu telah membuka jurang adanya kesenjangan sosial diantara mereka. Masih ingatkah kita bahwasanya manusia diciptakan sebagai mahkluk sosial, yang sisi kehidupannya tidak dapat terlepas dari bantuan manusia lainnya. Tapi sepertinya kesadaran itu semakin memudar seiring adanya kemajuan globalisasi. Bagi mereka kaum minoritas yang tidak memiliki kesempatan untuk berkompetisi secara global akan dianggap remeh oleh mata – mata yang haus akan materi.