NAMA :
SAFAR DWI KURNIAWAN
NIM :
10.11.4174
KELAS :
S1-TI I1
Konsep Kecerdasan Spiritual Studi Analis IQ, EQ dan SQ
Manusia adalah makhluk yang
paling cerdas, dan Tuhan, melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan yang
paling kompleks. Sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa manusia
adalah makhluk yang diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul asalkan
bisa menggunakan keunggulannya. Kemampuan menggunakan keunggulan ini dikatakan
oleh William W Hewitt, pengarang buku The Mind Power, sebagai faktor yang
membedakan antara orang jenius dan orang yang tidak jenius di bidangnya.
Sayangnya, menurut Leonardo Da
Vinci, kebanyakan manusia me-nganggur-kan kecerdasan itu. Punya mata hanya
untuk melihat tetapi tidak untuk memperhatikan, punya perasaan hanya untuk
merasakan tetapi tidak untuk menyadari, punya telinga hanya untuk mendengar
tetapi tidak untuk mendengarkan dan seterusnya.
Tentang IQ,
EQ, dan SQ
Memasuki abad ke-20 kita mengenal sebuah istilah populer yang berkaitan
dengan kecerdasan IQ, Intelligent Quotient. Sekarang ini hampir sulit menemukan
ada istilah lain selain IQ yang demikian sangat mempengaruhi seseorang dalam
memandang diri mereka sendiri dan orang lain. Adalah psikolog berkebangsaan
Prancis, Alfred Binet, yang pada tahun 1905 menyusun suatu test kecerdasan
terstandardisasi untuk pertama kalinya. Berbeda dengan bagaimana IQ diposisikan
kini dalam cara masyarakat memandang dan mengklasifikasikan individu-individu,
pada awalnya Binet justru merancang test kecerdasannya ini untuk
mengidentifikasi pelajar-pelajar di sekolahnya saat itu yang membutuhkan
bantuan khusus, dan bukannya untuk mencari anak-anak yang berbakat luar biasa
seperti yang berlangsung di kemudian hari. Lebih jauh lagi, Binet berusaha
untuk memastikan bahwa anak-anak yang memiliki persoalan-persoalan dalam
perilaku ini tidak lantas dianggap secara terburu-buru hanya sebagai orang yang
bodoh/tidak cerdas.
Test yang dikembangkan oleh Binet ini tak lama kemudian disusun kembali
oleh Lewis Terman, seorang profesor dalam bidang psikologi dari Stanford
University di US. Terman menggagaskan untuk memformulasikan suatu skor nilai
yang disebutnya sebagai IQ–Intelligent Quotient–yang diperoleh dengan cara
membagi ‘umur mental’ seseorang (yang didapat dari test kecerdasan Binet)
dengan umurnya yang sebenarnya atau umur kronologisnya.
Sekarang metoda test IQ masih digunakan terutama–seperti yang pertama kali diharapkan oleh Binet–untuk keperluan membantu para pelajar yang memerlukan pelajaran tambahan dan perhatian ekstra. Namun sejarah membuktikan bahwa metoda ini bergerak lebih jauh lagi dalam mempengaruhi aspek-aspek pemikiran masyarakat modern dalam cara mereka memandang aspek-aspek potensi individu. Barangkali tidak ada yang salah dengan metoda penentuan IQ ini, namun peradaban modern barat ketika itu (dan hingga kini) tidak memiliki konsepsi yang utuh dalam memandang diri manusia. Wajar jika saat itu IQ yang merefleksikan kemampuan seseorang dalam menghadapi situasi-situasi praktis dalam hidupnya (aspek kecerdasan sebagai problem-solving capacity), dianggap sebagai satu-satunya atribut kemanusiaan yang paling berharga. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teori kecerdasan abad ke-19–paduan antara sains dan sosiologi–yang dipelopori oleh sepupu Charles Darwin, Francis Galton, pada akhir abad ke-19 secara terpisah dari apa yang dikerjakan Binet saat itu. Galton juga meyakini bahwa jika orang-orang yang memiliki banyak atribut kecerdasan ini dapat diidentifikasi dan diletakkan dalam jabatan-jabatan kepemimpinan yang strategis, maka seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh manfaatnya. Ketika itu juga berkembang paham eugenics–populer di Eropa dan US sebelum akhirnya Hitler menyadarkan mereka betapa mengerikannya gagasan itu–yang meyakini bahwa kecerdasan pada umumnya diwariskan lewat garis keturunan dan oleh karena itu orang-orang yang kurang cerdas harus didorong agar tidak melakukan reproduksi. Gerakan ini juga menggunakan IQ sebagai metoda justifikasinya.
Sekarang metoda test IQ masih digunakan terutama–seperti yang pertama kali diharapkan oleh Binet–untuk keperluan membantu para pelajar yang memerlukan pelajaran tambahan dan perhatian ekstra. Namun sejarah membuktikan bahwa metoda ini bergerak lebih jauh lagi dalam mempengaruhi aspek-aspek pemikiran masyarakat modern dalam cara mereka memandang aspek-aspek potensi individu. Barangkali tidak ada yang salah dengan metoda penentuan IQ ini, namun peradaban modern barat ketika itu (dan hingga kini) tidak memiliki konsepsi yang utuh dalam memandang diri manusia. Wajar jika saat itu IQ yang merefleksikan kemampuan seseorang dalam menghadapi situasi-situasi praktis dalam hidupnya (aspek kecerdasan sebagai problem-solving capacity), dianggap sebagai satu-satunya atribut kemanusiaan yang paling berharga. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teori kecerdasan abad ke-19–paduan antara sains dan sosiologi–yang dipelopori oleh sepupu Charles Darwin, Francis Galton, pada akhir abad ke-19 secara terpisah dari apa yang dikerjakan Binet saat itu. Galton juga meyakini bahwa jika orang-orang yang memiliki banyak atribut kecerdasan ini dapat diidentifikasi dan diletakkan dalam jabatan-jabatan kepemimpinan yang strategis, maka seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh manfaatnya. Ketika itu juga berkembang paham eugenics–populer di Eropa dan US sebelum akhirnya Hitler menyadarkan mereka betapa mengerikannya gagasan itu–yang meyakini bahwa kecerdasan pada umumnya diwariskan lewat garis keturunan dan oleh karena itu orang-orang yang kurang cerdas harus didorong agar tidak melakukan reproduksi. Gerakan ini juga menggunakan IQ sebagai metoda justifikasinya.
Dalam risetnya di Stanford, Terman
memberikan usulan–yang kemudian diterima secara luas di US saat itu–bahwa test
IQ selayaknya digunakan untuk melakukan seleksi populasi sehingga para pemuda
dapat ditempatkan berdasarkan nilai IQ-nya di dalam sistem akademik dengan
derajat-derajat kelas tertentu, yang pada akhirnya akan mengarahkan mereka pada
posisi dan status sosial-ekonomi yang setaraf pula di masa depannya. Andaikan
kita sedemikian pandainya dengan nilai test IQ tertinggi 1% dari seluruh warga
US, maka pemerintah US akan sangat pandai juga dan dermawan dalam hal
mencarikan dan menawarkan kita akses menuju jenjang pendidikan kelas satu di
sana, dan akhirnya pula menuju kesempatan-kesempatan kerja dan posisi-posisi
sosial yang bertaraf tinggi. Orang-orang dengan IQ tinggi di sana tidak selalu
memimpin jabatan penting dalam pemerintahan; namun dapat dipastikan mereka
memiliki akses atas posisi-posisi istimewa dan hak-hak khusus lainnya. Dalam
istilah kontemporer, suatu negara yang mengorganisasikan dirinya berdasarkan
nilai test IQ seperti di US disebut meritokrasi (merit: jasa/guna).
Meritokrasi–yang jika diterjemahkan
dalam prasangka baik–pada dasarnya bertujuan untuk mengaktualisasikan dan
mengoptimalkan potensi-potensi setiap warga negaranya demi kepentingan bersama,
karena satu dan lain hal, menyebabkan terbentuknya kelas-kelas status sosial
serta memperlebar jurang antar kelas. Ironis sekali bahwa gagasan yang pada
dasarnya cukup baik ini, terpaksa harus membatasi kesempatan banyak orang hanya
karena potensi-potensi mereka tidak terukur oleh metoda test kecerdasan
konvensional–test IQ. Hal ini melahirkan gelombang gerakan protes dan kritik
dari berbagai kalangan, yang sebenarnya telah bermula sejak gagasan IQ diterima
kalangan luas. Gerakan anti-IQ yang paling signifikan terjadi di Inggris
sekitar tahun 1960-an. Ketika itu, mengadopsi sistem seleksi berbasis IQ yang
sangat ketat bagi anak-anak berumur belasan tahun yang masuk ke sekolah-sekolah
negeri. Gerakan ini secara umum tidak ditujukan pada metoda itu sendiri, namun
pada penerapannya yang kurang bijaksana. Jadi secara konseptual, masyarakat
luas tetap menyadari arti penting aspek kecerdasan ini sebagai satu-satunya
aspek yang dominan dalam mengkarakterisasi diri manusia. Kritik terhadap IQ
sendiri tidak menjadi pendorong yang utama untuk gerakan anti-IQ yang justru
semakin meluas memasuki dekade berikutnya. Bahkan pada tahun 1971 US Supreme
Court telah memutuskan untuk menghapuskan penggunaan metoda test IQ untuk
masalah-masalah perekrutan dan kepegawaian, kecuali dalam kasus-kasus tertentu.
Yang perlu ditekankan di sini bukanlah
pada betapa test IQ itu ternyata kurang efektif dalam menyeleksi orang
berdasarkan aspek kecerdasannya saja, namun pada betapa konsep kecerdasan ini
telah membentuk konsepsi diri manusia yang parsial dan reduksionistik–sebagai
akibat dari ketiadaan konsep diri manusia seutuhnya dalam tradisi filosofis dan
budaya barat yang berlaku saat itu hingga kini. Barangkali akan lain halnya,
jika konsep dan metoda test kecerdasan IQ ini muncul dalam tradisi filosofis
yang memandang potensi-potensi diri manusia secara utuh. Besar kemungkinannya
gagasan IQ ini akan melengkapi konsepsi integral yang ada ke dalam sebuah
kerangka kerja yang koheren dengan sebuah metoda praktis yang akan bermanfaat
dalam memahami dan menyelidiki fenomena kesadaran manusia lebih jauh lagi.
Meski respon kritis secara teoritik atas penaksiran kecerdasan berbasis IQ ini telah muncul sejak sebermula awal masa kelahirannya, namun baru satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-rumusan psikologi populer yang mengemas kontribusi-kontribusi studi dan riset dari para penyelidik kecerdasan sebelumnya dengan cukup baik. Dalam awal tahun 1990-an kita mengenal istilah Emotional Intelligence diusulkan oleh Daniel Goleman. Belakangan ini menjadi populer pula istilah Spiritual Intelligence, yang diusulkan oleh pasangan Danah Zohar dan Ian Marshall. Meski secara esensial tidak terdapat sebuah terobosan ilmiah yang betul-betul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun para pakar ini telah berhasil mensintesakan, mengemas, dan mempopulerkan sekian banyak studi dan riset terbaru di berbagai bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang cukup populer untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari sekedar apa yang semula biasa kita maknai dengan kecerdasan.
Meski respon kritis secara teoritik atas penaksiran kecerdasan berbasis IQ ini telah muncul sejak sebermula awal masa kelahirannya, namun baru satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-rumusan psikologi populer yang mengemas kontribusi-kontribusi studi dan riset dari para penyelidik kecerdasan sebelumnya dengan cukup baik. Dalam awal tahun 1990-an kita mengenal istilah Emotional Intelligence diusulkan oleh Daniel Goleman. Belakangan ini menjadi populer pula istilah Spiritual Intelligence, yang diusulkan oleh pasangan Danah Zohar dan Ian Marshall. Meski secara esensial tidak terdapat sebuah terobosan ilmiah yang betul-betul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun para pakar ini telah berhasil mensintesakan, mengemas, dan mempopulerkan sekian banyak studi dan riset terbaru di berbagai bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang cukup populer untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari sekedar apa yang semula biasa kita maknai dengan kecerdasan.
Goleman mempopulerkan pendapat para
pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang
berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan
efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut. Ia menyebutnya
dengan istilah kecerdasan emosional dan mengkaitkannya dengan kemampuan untuk
mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai
dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati, dll. Jika kita tidak mampu
mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu untuk
menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif, demikian
menurut Goleman. Sementara itu Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek
konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/berkecerdasan dalam
hidup yang bermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah kecerdasan
spiritual (SQ). Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan
mereka meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki
kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang sesuatu secara
holistik, serta berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas
situasi-situasi hidupnya, dll. Sebagai konsekuensi melibatkan konteks nilai dan
makna dalam aspek berkecerdasan manusia, maka SQ sebetulnya mengalamati
pelik-pelik ontologis dan epistemologis dalam mencermati aspek-aspek
kecerdasan/kesadaran diri manusia secara utuh. Di sini barangkali kita bisa
berharap akan adanya sebuah sintesa bangunan kerangka kerja yang koheren dan
komprehensif untuk mendekati konsepsi diri manusia dengan segenap
aspek-aspeknya yang tak terpisahkan, meskipun pada kenyataannya Zohar tidak
menyelesaikan masalah ini dengan cukup terperinci dan lebih memusatkan
perhatiannya pada aspek-aspek aplikasi praktisnya.
Namun, EQ dan SQ ini pun pada dasarnya
tidak akan banyak membantu kita–yang telah terbiasa memahami apa-apa yang
berlangsung di dalam benak kita dalam istilah-istilah intelligent dan
quotient–seandainya kita tidak memiliki visi yang fundamental dan menyeluruh
dalam memandang aspek-aspek kedirian manusia secara utuh. Kita menyadari bahwa
gelombang antusiasme yang berlebihan terhadap kedua formulasi kecerdasan ini
alih-alih bermanfaat, mungkin malah akan berbalik membatasi dan mematikan
banyak aspek dan potensi manusia yang belum terjamah. Di sisi lain, kita
dituntut untuk sedapatnya memanfaatkan formulasi kecerdasan ini dalam rangka
membangun sebuah konsepsi manusia yang utuh, radikal dan fundamental serta
menerjemahkannya secara strategis dalam langkah-langkah praktis agar dapat
mengatasi masalah-masalah aktual di negeri kita.
Penemuan Seputar Kecerdasan
Thorndike adalah salah satu ahli yang membagi kecerdasan manusia
menjadi tiga, yaitu kecerdasan Abstrak -- Kemampuan memahami simbol matematis
atau bahasa, Kecerdasan Kongkrit -- kemampuan memahami objek nyata dan
Kecerdasan Sosial – kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia
yang dikatakan menjadi akar istilah Kecerdasan Emosional ( Stephen Jay Could,
On Intelligence, Monash University: 1994)
Pakar lain seperti Charles Handy
juga punya daftar kecerdasan yang lebih banyak, yaitu: Kecerdasan Logika
(menalar dan menghitung), Kecerdasan Praktek (kemampuan mempraktekkan ide),
Kecerdasan Verbal (bahasa komunikasi), Kecerdasan Musik, Kecerdasan
Intrapersonal (berhubungan ke dalam diri), Kecerdasan Interpersonal
(berhubungan ke luar diri dengan orang lain) dan Kecerdasan Spasial (Inside
Organizaion: 1990)
Bahkan pakar Psikologi semacam
Howard Gardner & Associates konon memiliki daftar 25 nama kecerdasan
manusia termasuk misalnya saja Kecerdasan Visual / Spasial, Kecerdasan Natural
(kemampuan untuk menyelaraksan diri dengan alam), atau Kecerdasan Linguistik
(kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), Kecerdasan Logika (menalar atau
menghitung), Kecerdasan Kinestik / Fisik (kemampuan mengolah fisik seperti
penari, atlet, dll), Kecerdasan sosial yang dibagi menjadi Intrapersonal dan
Interpersonal (Dr. Steve Hallam, Creative and leadership, Colloquium in
Business, Fall: 2002).
Kecerdasan Intelektual, Emosional & Spiritual
1.Seputar Kecerdasan Intelektual
Sudah bertahun-tahun dunia
akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer) dan
dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standar mengukur kecerdasan seseorang.
Tetapi namanya juga temuan manusia, istilah tehnis yang berasal dari hasil
kerja Alfred Binet ini (1857 – 1911) lama kelamaan mendapat sorotan dari para
ahli dan mereka mencatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang
menuntut untuk diperbaruhi, yaitu:
a. Pemahaman absolut terhadap skor IQ .
Steve Hallam berpandangan,
pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan
tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta
bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara
sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar.
b. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan
logika
Steve Hallam sekali lagi
mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin
banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu
bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan
dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike
Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.
2.Seputar Kecerdasan Emosional (EQ)
Daniel Golemen, dalam bukunya
Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan
seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun
faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama tehnis itu ada yang
berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi
perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam
dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa
mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat
3.Seputar Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar, penggagas istilah
tehnis SQ (Kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat
ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga
perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’ (
Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001).
Penerapan IQ-EQ-SQ Dalam
Kehidupan
IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang
hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat,
berasal dari proses :
1. merumuskan keputusan,
2. menjalankan keputusan atau
eksekusi,
3. menyikapi hasil pelaksanaan
keputusan.
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada fakta yang kita
temukan di lapangan realita (apa yang terjadi) – bukan berdasarkan pada
kebiasaan atau preferensi pribadi suka – tidak suka. Kita bisa menggunakan IQ
yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta obyektif,
akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap pilihan
keputusan yang ada.
Rencana keputusan yang hendak kita ambil – hasil dari penyaringan
logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata demi kepentingan
dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita hidup bersama dan dalam
proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu
kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang
lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan. Banyak fakta dan
dinamika dalam hidup ini, yang harus dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa
menggunakan rumusan logika – matematis untung rugi.
Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor human touch,
turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan
kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan pada mereka). Salah satu
contoh kongkrit, di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi
dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar